Saya akan menulis mengapa kita mencintai Rasulullah..
Mencintai Rasulullah adalah sebuah keharusan ..
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (QS. Al Ahdzab: 6)
“Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari)
“YA RASULULLAH, sungguh engkau lebih
kucintai daripada diriku dan anakku,“ kata seorang sahabat suatu hari
kepada Rasulullah Muhammad SAW.“ Apabila aku berada dirumah, lalu
kemudian teringat kepadamu, maka aku tak akan tahan meredam rasa rinduku
sampai aku datang dan memandang wajahmu. Tapi apabila aku teringat pada
mati, aku merasa sangat sedih, karena aku tahu bahwa engkau pasti akan
masuk ke dalam surga dan berkumpul bersama nabi-nabi yang lain.
Sementara aku apabila ditakdirkan masuk ke dalam surga, aku khawatir tak
akan bisa lagi melihat wajahmu, karena derajatku jauh lebih rendah dari
derajatmu.”
Mendengar kata-kata sahabat yang demikian
mengharukan hati itu, Nabi tidak memberi sembarang jawaban sampai
malaikat Jibril turun dan membawa firman Allah berikut :
Dan barang siapa yang menaati Allah dan
Rasul-Nya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah; yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada
dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya
(QS. 4:69)
Cinta kepada Nabi seperti yang dapat kita
simpulkan dari riwayat di atas memiliki implikasi yang sangat luas,
baik secara teologis, psikologis dan sosiologis bahkan secara
eskatologis sekalipun. Dalam sebuah hadis, Nabi pernah bersabda bahwa
keimanan seseorang harus diukur dengan barometer cintanya kepada
Nabinya. La yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba ilaihi min nafsihi…”
Tidak beriman seseorang sehingga aku (Nabi) lebih ia cintai ketimbang
dirinya sendiri…”
Mencintai Rasulullah menjadi sebuah
keharusan dalam iman. Ia menjadi prinsip, bukan opsi atau pilihan yang
notabenenya adalah mau atau tidak. Sesorang Muslim harus menyimpan rasa
cinta kepada Nabinya, seberapapun kecilnya. Idealnya ia mencintainya
lebih dari segala sesuatu yang ia miliki, bahkan dirinya dan itulah pada
hakikatnya iman yang paling sempurna. Cinta memang duduk sebagai sebuah
landasan untuk mengetahui siapa Muhammad SAW. Karena itu cinta akan
menjadi sebagai pengantar yang membawa kita bisa mengenalnya lalu
kemudian mencerminkan diri padanya. Untuk mengenal Muhammad memang kita
harus memulai dengan membaca riwayat hidupnya. Data-data historis
tentang Muhammad pasti menyimpan pelajaran-pelajaran yang sangat
berharga. Namun yang harus kita ingat bersama adalah jangan mengukur
kesalehan Muhammad hanya lewat deskripsi historis semata-mata. Sebab
data-data historis tersebut tidak lebih dari sebuah deskripsi lahiriah
yang kurang sarat dengan substansi “keilahian” Muhammad SAW. Sementara
keagungannya justru ada pada maqam keilahiannya yang sangat tinggi
seperti yang sering kita dengar dalam sebuah doa tentangnya, “wa
ib’atshu maqamam mahmudalladzi wa’adtahu…”
Ketinggian maqam Muhammad tentu bukan hal
yang mudah untuk diketahui. Bahkan hampir-hampir mustahil. Namun dengan
melihat hadis berikut mungkin saja bisa mengantar kita untuk sedikit
mengetahui siapa itu Muhammad lewat lisannya sendiri.
Nabi SAW bersabda “Aku adalah Ahmad tanpa
mim (m)”. Ahmad tanpa mim (m) akan berarti ahad (Esa), yang merupakan
sifat Allah yang sangat unik. Mim yang merupakan simbol personafikasi
dan manifestasi Allah dalam diri Muhammad pada hakekatnya adalah
bayangan Ahad yang ada di alam semesta. Mim adalah wasilah antara
makhluk dengan Khaliqnya. Mim adalah jembatan yang menghubungkan para
Kekasih Allah dengan Sang Kekasihnya yang mutlak. Dengan kata lain
Muhammad adalah mediator antara makhluk dengan Allah SWT. Dialah mazhar
al-Haq atau tempat kebenaran dan realitas Allah menampak di dunia ini.
Dialah “Zahirnya Allah di tengah makhluk-makhluk-Nya. Dialah aktivitas
Allah yang dapat dilihat manusia dengan matanya, karena Allah SWT
sendiri tak dapat dilihat . Iqbal berkata, Duhai Rasul Allah Dengan
Allah aku berbicara melalui tabirmu Denganmu tidak, Dialah Batinku,
Dikaulah Zahirku.
Menurut Iqbal, Muhammad benar-benar
berfungsi “mim” yang “membumikan” Allah dalam kehidupan manusia. Dialah
“Zahir”nya Allah; dialah Syafi'(yang memberikan syafaat, pertolongan
dan rekomendasi) antara makhluk dengan Tuhannya. Ketika anda ingin
merasakan kehadiran Allah dalam diri anda, hadirkan Muhammad. Ketika
anda ingin disapa oleh Allah, sapalah Muhammad. Ketika anda ingin
dicintai Allah, cintailah Muhammad. Qul inkuntum tuhibbunallah fat
tabi’uni yuhbibkumullah, “Apabila kalian cinta kepada Allah maka
ikutilah aku (Muhammad) kelak Allah akan cinta kepada kalian.” Kepada
orang seperti inilah kita diwajibkan cinta, berkorban dan bermohon untuk
selalu bersamanya, di dunia dan akhirat. Sebab seperti kata Nabi,
“Setiap orang akan senantiasa bersama orang yang dicintainya.”
Bukankah setiap kali kita mencintai
sesuatu maka kita akan mencari tahu segala hal yang berkaitan dengannya.
Bahkan mungkin kita ingin menghadirkannya selalu dalam liku-liku hidup
kita. Bila anda mencintai Imam Khomeini, misalnya, maka untuk cinta itu
anda akan melakukan banyak hal seperti menyimpan posternya,
buku-bukunya, artikel-artikel yang ditulis tentangnya bahkan mungkin
namanya. Cinta memang laksana air mengalir yang memindahkan seluruh
sifat dan karakter si kekasih kepada kita yang mencintainya.
Manfaat Cinta kepada Nabi Muhammad
Ketika Allah mewajibkan umat manusia
untuk mencintai Nabi Muhammad SAW, maka instruksi tersebut jelas bukan
sebuah perintah tanpa tujuan. Karena mustahil Allah akan memerintahkan
sesuatu yang sia-sia. Tetapi tujuan tersebut juga bukan sesuatu yang
kepentingannya akan kembali kepada Allah atau Rasul-Nya, karena Allah
SWT Mahakaya dari butuh pada sesuatu, dan Rasul-Nya juga tidak butuh
pada interest tertentu. Dengan demikian mencintai Rasulullah adalah
sebuah perintah yang manfaatnya semata-mata untuk kepentingan manusia
itu sendiri. Lalu, apa manfaat dari mencintai Rasulullah ?
Ada manfaat yang instant dan ada juga
yang jangka panjang. Diantara manfaat yang segera kan kita rasakan
adalah terpautnya hati ini pada pribadi Muhammad SAW. Apabila kita jujur
dalam mencintai Muhammad, maka hati kita akan merindukan Muhammad; sama
persis seperti tokoh kita diatas merindukan Rasulullah. Bedanya adalah
dia bisa mengobati rindunya dengan mendatangi Muhammad secara langsung.
Sementara kita mengobati rindu dengan hanya menyebut-nyebut namanya.
“Barang siapa mencintai sesuatu maka dia akan menyebut-nyebutnya.” Kata
Imam’Ali bin Abi Thalib kw.
Apabila kita jujur dalam mencintai
Muhammad, maka jiwa kita akan terbentuk dan tercermin pada jiwa Muhammad
SAW. “Bukti cinta adalah mendahulukan sang kekasih di atas selainnya,”
begitu kata Imam Ja’far Ash-Shadiq.
Apabila kita jujur mencintai Muhammad,
maka kita akan berupaya mencari tahu segala sesuatu tentang dirinya;
kehidupan pribadinya, kehidupannya dalam keluarga, dengan sesama
saudara, dengan lingkungannya, dan lain sebagainya. Apabila kita ingin
mengetahui sejarah Muhammad dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
pribadi manusia yang agung ini, hendaklah diawali dengan rasa cinta
terlebih dahulu. Apabila sudah tertanam rasa cinta, maka akan timbul
sikap sungguh-sungguh untuk mengetahuinya secara akurat dan mendalam.
Pengetahuan yang tidak dilandasi pada dasar cinta akan berakibat rancu,
setengah-setengah dan kurang sempurna. Dari situ kita akan mengetahui
mengapa Allah SWT mewajibkan kita untuk mencintai Muhammad SAW, bahkan
sebelum kita mengetahuinya sekalipun.
Di antara manfaat jangka panjang dari
rasa cinta kita pada Muhammad SAW adalah seperti yang difirmankan oleh
Allah SWT dalam surat yang kita kutip di atas; bahwa dia kelak akan
bersama para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang saleh. Bahkan
dalam sebuah hadis Nabi SAW bersabda :
Cinta padaku dan cinta pada Ahli Baitku
akan membawa manfaat di tujuh tempat
yang sangat mengerikan : di saat wafat, di
dalam kubur, ketika dibangkitkan, ketika
pembagian buku-buku catatan amal, di
saat hisab, di saat penimbangan amal-amal
dan di saat penitian shirat al-mustaqim
Cinta Murni dan Cinta Semu
Ada dua jenis kategori cinta. Pertama,
cinta yang berakhir dengan kebosanan. Untuk ini kita sebut saja dengan
cinta semu. Kita cinta pada dunia, harta, anak-istri dan sebagainya.
Cinta kita pada mereka tidak selamanya meluap-luap bak api membara. Ada
saatnya cinta kita redup, bahkan kadang-kadang mati sama seklai. Kita
mencintai nak kandung kita. Tapi apabila tiba-tiba dia durhaka pada
orangtua, maka cinta bisa berbalik murka. Kita cinta pada dunia kita,
yang halal tentunya. Tapi kadang-kadang timbul kebosanan sedemikian rupa
sehingga kita meninggalkannya secara total. Cinta seperti ini adalah
cinta semu, sebuah cinta yang berakhir pada kebosanan.
Kedua, cinta murni. Jenis cinta ini
adalah cinta yang senantiasa hangat dan membara. Dengan cinta itu dia
mengejar kekasihnya, melakukan sesuatu karena kekasihnya, bahkan mau
mati semata-mata karena kekasihnya. Cinta seperti ini adalah cinta yang
tidak pernah bosan dan berakhir. Cinta murni adalah sebuah cinta yang
terbit untuk Allah SWT. Imam Ali berkata : “Cinta pada Allah adalah api
yang membakar segala sesuatu yang dilewatinya.” Karena cinta pada Allah,
maka orang-orang mukmin mau mati di jalan-Nya. Cinta pada Allah memang
bisa membakar setiap usaha yang menghalanginya.
Imam Al-Shadiq berdoa : Ya Sayyidi, aku
lapar dan tidak pernah kenyang dari mencintai-Mu; aku haus dan tidak
pernah puas dari mencintai-Mu. Oh… betapa rindunya pada Dia. Yang
melihatku tapi aku tidak melihat-Nya…
Tentu cinta pada Allah adalah sejenis
cinta murni. Tidak terselubung di dalamnya rasa benci, enggan dan murka.
Cinta pada Allah adalah cinta pada kemutlakan; cinta yang tidak bertepi
dan tidak berujung. Tapi bagaimana dengan cinta pada Muhammad SAW ?
apakah cinta kepada Muhammad yang diwajibkan Allah kepada kita adalah
sejenis cinta semu atau cinta murni. Nabi SAW bersabda :
“Cintailah Allah karena nikmat yang telah
dianugerahkan-Nya pada kalian, cintailah aku karena cinta Allah
(padaku) dan cintailah Ahli Baitku karena cintaku pada mereka”.
Dalam hadis yang lain beliau bersabda :
“Tidak beriman seorang hamba sehingga aku
lebih ia cintai daripada dirinya sendiri dan itrah (keluarga)-ku lebih
ia cintai ketimbang keluarganya…”.
Melihat hadis ini dan hadis-hadis sejenis
yang lain terasa bahwa tuntutan untuk mencintai Muhammad dan
keluarganya bukan sejenis cinta semu yang kapan pun boleh hilang atau
dihilangkan. Secara vertikal, ketika kita mencintai mereka sebenarnya
kita juga mencintai Allah dan ketika kita membenci mereka kita pun
membenci Allah.
Imam Ali bin Abi Thalib kw berkata :
“Sesungguhnya agama Allah
tidak akan bisa dikenali dari pribadi-pribadi, tetapi akan dapat
dikenali dari tanda-tanda kebenarannya. Kenalilah kebenaran maka engkau
akan mengetahui siapa penganutnya.”
(Bihar Al-Anwar, jus 68 hal.120)
Oleh : Husein Shahab
Wallahu a‘lam bishshowab. Wassalamualaikum Wr. Wb. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar